Powered By Blogger

Jumat, 27 Januari 2012

Dakwah

InsyaAlloh ini hasil dari diskusi satu malam dengan Mas'ul Haska, KM Musthofa, dan KM Al-Huda
Semoga bermanfaat.. ^^

http://www.4shared.com/office/M3dM-EEF/SHARING.html

Kamis, 12 Januari 2012

Seri Esai Profetik

Luqman-Luqman yang Modern
 
Islam mewajibkan kepada seluruh pemeluknya untuk mendasari hidup dan seluruh aktivitasnya pada Al Quran dan Al Hadits (As Sunnah) atau Sunnah Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa sallam. Oleh karena itu, pemahaman akan Al Quran dan Sunnah Rasulullah haruslah mendalam dan penuh penghayatan. Sebab, kedua hal itulah yang merupakan pedoman umat islam dalam mengarungi bahtera kehidupan, dari lahir hingga dilahirkan kembali dari alam kubur.
Pentingnya Pendidikan pada Anak
Al Quran merupakan kitab yang berisi informasi, petunjuk, tuntunan, pedoman, aturan, dan juga hukum-hukum akan segala sesuatu yang ada di dunia. Sedangkan Al Hadits, Assunnah, atau pun Sunnah Rasulullah adalah representasi dari akhlak Nabi Muhammad yang bersumber dari Al Quran, bersifat aplikatif. Ketentuan-ketentuan ini sudah semestinya diterapkan semenjak dini pada diri seseorang yang mengaku muslim. Dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut dapat dimaknai sebagai pengajaran atau pendidikan dalam rangka mengarungi samudera kehidupan agar selamat dunia dan akhirat. Pengajaran atau pendidikan yang bersumber dari Al Quran pasti akan sejalan dengan apa yang ada di Al Hadits. Oleh karena itu, Al Quran dan Al Hadits tidak boleh dipisahkan kaitannya dalam mendidik umat Islam.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dimulai sejak dini, atau lebih tepatnya saat telah memasuki masa kanak-kanak. Penelitian menyebutkan bahwa otak manusia mengalami perkembangan dan penyerapan informasi yang cukup cepat ketika masa-masa itu (kanak-kanak). Hal ini pun dibuktikan oleh Al Quran pada surat ke-31 ayat 12 sampai dengan 19. Ya, surat itu bernama surat Luqman. Delapan ayat dalam surat Luqman menjadi saksi pendidikan Islam yang dilakukan kala itu. Pendidikan yang dilakukan seorang ayah kepada anaknya yang masih kecil. Akan tetapi, pembaca mungkin akan bertanya-tanya, apakah ketika Luqman memberikan nasihat dan pengajaran itu, anaknya masih kecil sebagaimana yang diterangkan di atas. Padahal kita tahu dalam tafsir surat tersebut, hanya ada kata “Ya, Anakku.”? Dan itu belum menjelaskan apakah anak itu masih kecil atau sudah dewasa? Nah.. Di sinilah gunanya Al Hadits atau As Sunnah yang bertindak sebagai penjelas dari pertanyaan tersebut.
Pendidikan Anak? Ya, Pendidikan Luqman pada Anaknya
 Pendidikan yang dilakukan pada Luqman adalah pendidikan yang menitikberatkan pada dialog hangat antara ayah (orang tua) kepada anaknya. Luqman telah diberi anugerah hikmah oleh Alloh Ta’ala sehingga kata-kata yang keluar dari mulutnya sebenarnya representasi dari firman Alloh yang diturunkan lewat perantara Luqman, “Dan sungguh telah kami berikan hikmah kepada Luqman..”. Pendidikan inilah yang seharusnya menjadi model awalan membangun komunikasi antara orang tua dengan anak.
Pada ayat 12, nasihat pertama yang dijelaskan di sana adalah agar kita selalu bersyukur, “Dan barang siapa bersyukur (kepada Alloh), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Alloh Mahakaya, Maha Terpuji.”. Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa hal pertama yang semestinya kita tanamkan kepada anak-anak adalah tentang rasa syukur. Karena, dengan bersyukur, Alloh akan membukakan pintu rahmat dan hidayah-Nya sehingga seseorang akan mudah menerima petunjuk ke dalam hatinya. Apabila hatinya telah lapang menerima hidayah, maka ke depannya akan mudah bagi orang tersebut menerima kebaikan-kebaikan lainnya.
Ayat berikutnya adalah perintah agar tidak menyekutukan Alloh, “Wahai Anakku! Janganlah engkau menyekutukan Alloh, sesungguhnya mempersekutukan (Alloh) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.”. Kita dapat melihat bagaimana penanaman tauhid menjadi penguat nasihat pertama akan urgensi bersyukur kepada tuhannya. Mulai saat inilah, anak dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat yang di dalamnya terdapat kalimat tauhid yang merupakan syarat menjadi Muslim.
Ayat 14 dan 15 merupakan dasar (alasan) seorang anak untuk mematuhi orang tuanya (khususnya Ibu). Dijelaskan dengan gambling pada ayat 14, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertamnbah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.”. Akan tetapi, ketaatan atau kepatuhan kepada orang tua tetap tidak boleh mengalahkan ketaatan kita kepada Alloh. Secara tersirat ini dijelaskan di ayat 15 yang sekaligus menerangkan adab seorang anak kepada orang tuanya, “Dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”.
Selanjutnya, pada ayat 16, “(Luqman berkata), “Wahai Anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Alloh akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Alloh Mahahalus, Mahateliti.”. Perkataan Luqman pada ayat ini dapat dikatakan sebagai awalan dalam menjalankan perintah dalam Islam yang berupa ibadah (amal, aplikatif). Perkataan Luqman di atas dapat diartikan sebagai motivasi sekaligus ancaman ketika kita melakukan amal selama hidup di dunia. Isi pada ayat 16 merupakan pelecut seseorang dalam melaksanakan apa yang ada di ayat 17, yaitu “Wahai Anakku! Laksanakanlah sholat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.”.
Pada ayat 17, kita dapat melihat bagaimana perintah yang sifatnya nampak (berupa amal perbuatan, bukan sekedar pekerjaan hati), sudah mulai disampaikan kepada anaknya. Begitu pula isi pada ayat 18 dan 19 yang dapat dikatakan sebagai efek yang seharusnya dicapai ketika kita telah melaksanakan sholat, menyuruh berbuat makruf serta mencegah dari kemungkaran, “Dan janganlah kamu memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Alloh tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Dan sederhanakanlah dalam berjalan, dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”.
Kuno?
Cerita tentang pengajaran yang dilakukan Luqman terhadap anaknya memang sudah lampau sekali. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubur catatan berharga pendidikan yang dilakukan oleh Luqman terhadap anaknya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat memungkinkan seseorang dapat mengakses nasihat-nasihat yang ada lewat media tanpa harus bertatap muka langsung seperti yang dilakukan oleh Luqman. Handphone menjadi sarana efektif dalam menyampaikan tausiyah yang berupa kiriman-kiriman SMS. Ilmu pengetahuan telah mengubah paradigma sebagian orang bahwa pendidikan atau pelajaran Matematika, Komputer, Bahasa Inggris, Akuntansi adalah bidang pelajaran yang populer dan wajib dikuasai ketimbang pelajaran Agama Islam. Anak dikatakan pintar jika mendapatkan nilai 100 dari mata pelajaran yang populer tersebut. Sedangkan apabila nilai agama kecil, mereka tidak pernah memedulikannya. Lalu, apakah pendidikan yang dilakukan oleh Luqman dahulu dianggap ketinggalan zaman atau kuno sehingga para orang tua cenderung meninggalkannya? Dan sang anak lebih gemar bermain game daripada sholat, berbuat makruf, dan mencegah yang mungkar?
Menjadi Luqman yang Modern
          Luqman dan segala hal tentang pengajaran kepada anaknya tidaklah kuno sama sekali. Namun, dengan pernyataan tersebut, tidakkah secara langsung menyiratkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak sejalan dengan visi syariat Islam? Jawabanya pun juga tidak. Syariat Islam yang kali ini dinasihatkan Luqman kepada anaknya akan tetap sejalan dengan perkembangan yang terjadi di dunia sampai kapan pun. Oleh karena itu, sudah seharusnya sikap adaptif perlu dilakukan dalam rangka menjadi sosok Luqman-luqman yang modern di masa kini.
Perlu digarisbawahi, menjadi Luqman yang modern bukan berarti mengesampingkan atau menghilangkan makna Luqman yang tersebut dalam Al Quran. Menjadi Luqman yang modern merupakan sikap kritis terhadap dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena pada dasarnya, Luqman yang tersebut di dalam Al Quran tidaklah modern atau pun kuno. Jika menjadi Luqman yang modern adalah bentuk dari penyempurnaan dari Luqman yang tersebut dalam Al Quran, maka hal itu berarti, Luqman yang dibicarakan sebelumnya adalah Luqman yang kuno dengan ajaran-ajaran yang kuno. 
   Luqman yang modern di sini lebih menitikberatkan pada cara penyampaian nasihatnya sebagai bentuk adaptasi terhadap era globalisasi, bukan pada ajarannya. Luqman-luqman yang modern hadir untuk membuktikan bahwa Islam dan segala ajarannya bukanlah agama yang gagap teknologi, kuno, terbelakang, percaya takhayul, tidak realistis, dan sebagainya. Luqman-luqman yang modern hadir menyempurnakan ajaran Islam yang menyeluruh, menyentuh ke segala bidang. Ia modis tanpa harus mengiris tauhid hingga habis. Ia up-to-date dan selalu terdepan. Ia penuh inspirasi dan motivasi.

Jumat, 21 Oktober 2011

Seri Esai Profetik

GURU PROFETIK, GURU PERADABAN

Guru adalah teladan bagi murid-muridnya. Guru seharusnya dapat dijadikan contoh bagi murid-muridnya. Akan tetapi, beberapa tahun belakangan ini, banyak tersiar kasus guru yang menghukum siswanya dengan tindakan yang tidak sepatutnya. Tergambar jelas rekaman video yang pernah disiarkan oleh beberapa stasiun TV swasta bagaimana guru tersebut memaki dengan kata-kata kasar, memukul, bahkan menedang siswanya. Bukan bermaksud menghakimi atau membuka aib seseorang, melainkan sekedar memberikan sedikit gambaran bahwa guru atau tenaga pendidik saat ini telah melupakan ‘janji suci’nya sebagai seorang pendidik.
Sekilas...
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) mengartikan Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Mari kita telaah satu per satu.
Pertama, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana. Kita dapat menangkap makna dari kalimat tersebut yang intinya adalah pendidikan adalah sebuah kegiatan, amal, aktivitas yang dilakukan secara sadar dan terencana. Jadi, bolehlah jika segala kegiatan yang dilakukan secara sadar dan terencana, saya katakan sebagai sebuah pendidikan. Bertolak dari pernyataan tersebut, maka apapun hal yang dilakukan secara sadar dan terencana dapat dikatakan sebagai pendidikan. Makan bisa berarti pendidikan, pergi bertamasya juga pendidikan, bahkan sholat pun dapat dikatakan sebagai sebuah pendidikan, karena hal-hal tadi ‘biasanya’ dilakukan secara sadar dan terencana.
Kedua, ...untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya... Di Indonesia, pendidikan memegang peranan penting dalam pengembangan potensi peserta didik. Akan tetapi, hal tersebut tampaknya kurang diimbangi dengan perwujudan suasana dan proses pembelajaran yang menjadikan peserta didik aktif dalam kegiatan belajarnya. Tidak sedikit para pendidik atau guru yang berlomba-lomba mengembangkan potensi peserta didiknya dengan les gratis, bimbel, pengayaan, dan semacamnya. Namun, kebanyakan dari mereka juga lupa mewujudkan suasana belajar mengajar yang kondusif, sehingga dalam beberapa kasus menunjukkan bahwa peserta didik merasa jenuh dan ‘cenderung’ kabur ketika pengayaan atau model-model tambahan pelajaran lainnya.
Terakhir, ...untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dapat dilihat di sana bahwa kekuatan spiritual keagamaan menjadi awal pengantar tujuan Pendidikan sebelum pengendalian diri, kepribadian, dan kecerdasan akhlak mulia serta keterampilan. Jadi secara implisit dapat dikatakan bahwa spiritual keagamaan lebih didahulukan dari softskill-softskill yang lain.
Kalimat tersebut di atas memiliki susunan gramatikal yang cukup menarik. Bagaimana kekuatan spriritual mendahului pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan. Hal ini dapat dijadikan patokan untuk meneguhkan pendapat saya bahwa tujuan utama pendidikan adalah terpusat pada aspek religiusitas/ spiritual keagamaan. Jadi, boleh donk jika pada akhirnya saya mengambil dalil-dalil dari Al Quran terkait pembahasan ini (pendidikan). Oleh karena itu, sudah selayaknya kita menjadikan Al Quran sebagai pedoman/ petunjuk hidup kita yang mengaku Muslim. Al Quran sendiri sebenarnya sudah menjelaskan bagaimana sosok guru yang ideal.
Guru harus dapat menjadi Teladan
Guru adalah pembentuk peradaban. Pada hakikatnya, sebuah peradaban yang besar itu dilahirkan oleh masyarakat yang beradab (madani). Namun, sejatinya, ada satu hal dibalik itu yang perlu kita garisbawahi bersama, yakni pastinya ada sosok guru yang telah mendidik masyarakat tersebut.
Saya pun teringat dengan kisah seorang manusia yang berhasil membawa masyarakat yang hidup berdampingan bersama beliau menajadi masyarakat yang madani dan akhirnya memiliki peradaban besar. Seorang manusia dianggap gila oleh beberapa kalangan Qurasiy. Ya! Beliau adalah Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu..”
(QS Al-Ahzab:21)
Surat di atas secara tersirat menjelaskan kepada kita bagaimana seharusnya seorang guru bertindak dan bersikap. Akhlak yang mulia, sifat yang terpuji, serta tidak lupa dengan nasehat-nasehat yang menggetarkan jiwa, semua itu telah dicontohkan oleh Rasulullah kepada para keluarga dan para sahabatnya. Namun, yang perlu ingat, Rasulullah tidak serta merta banyak bicara dengan mengajarkan teori ini, ilmu itu, dan segala macam konsep baik hubungannya dengan ilmu dunia dan akhirat, melainkan beliau juga aktif dan giat mengamalkan ilmunya dan menerapkannya di dalam kehidupan beliau. Jadi, tidaklah mengherankan apabila umat beliau semakin banyak dan sangat mencintai beliau. Oleh karena itu, guru teladan adalah guru yang mencontoh sikap dan akhlak dari guru peradaban umat Islam, Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Guru = Orang Tua
Guru juga merupakan orang tua kita di sekolah. Ungkapan ini sering kita dengar di setiap kesempatan. Seorang guru harus dapat mengayomi murid-muridnya sebagaimana halnya orang tua. Lalu, Bagaimana jika muncul kendala manakala dari siswa/ murid itu sendiri tidak mau menganggap guru sebagai orang tua mereka sehingga berdampak pada sikapnya? Di sinilah guru diuji sejauh mana kapasitas yang dimilikinya. Dan jawabannya bisa jadi adalah kharisma. Ya, seorang guru haruslah kharismatik. Kita lagi-lagi dapat menilik perilaku Rasullah dalam mendidik/ mentarbiyah sahabat-sahabatnya yang dahulu masih kafir. Rasulullah tidak serta merta memakai kata-kata kasar ketika menyampaikan kebenaran kepada seorang kafir, tetapi beliau menggunakan kata-kata yang baik yang sungguh sangat menggetarkan hati. Hal ini termaktub dalam QS An-Nahl ayat 125 yang kurang lebih artinya adalah “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (pula)...” Dan hal ini pula yang seharusnya dilakukan para guru untuk dapat mengambil hati murid-muridnya. Yakinlah! Bahwa kelembutan dan kesantunan kata bagaikan air yang dapat menembus hati yang seperti batu. Maka, sudah sepantasnya guru mentransformasikan dirinya menjadi orang tua yang dapat memberikan teladan dan kepahaman serta tidak lupa untuk senantiasa menarik dan kharismatik. Percaya, murid-murid akan dekat dengan kita dan akhirnya dapat menganggap kita sebagai orang tua mereka sendiri.
Kurikulum Berbasis Keteladanan 
Pesona diri dan kepribadian yang menawan dari seorang guru tidaklah cukup untuk mengubah sebuah kebudayaan menjadi sebuah peradaban yang luhur. Butuh sebuah sistem yang dapat melanggengkan itu semua. Butuh sebuah sistem yang dapat mengokohkan kinerja-kinerja guru di lapangan sehingga apa yang dicita-citakan, yakni guru sebagai pembentuk peradaban dapat terakomodasi dengan baik. Sistem yang terangkum dalam sebuah kurikulum. Ya! Sebuah kurikulum.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia telah berkali-kali mengalami perubahan. Sebenarnya tidak masalah manakala kurikulum itu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, yang perlu diperhatikan di sini adalah apakah perubahan itu dapat benar-benar mengubah pendidikan yang telah ada -menjadi lebih baik tentunya- atau malah membuat bingung kalangan pendidik itu sendiri. Lalu, bagaimana peran guru sebagai pendidik apabila kurikulum yang berubah itu ternyata memberikan dampak yang kurang baik dalam sistem pendidikan sekolah yang ada? Jawabnya mudah. Kita terapkan saja kurikulum tersendiri yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah. Kurikulum yang sudah diajarkan Rasulullah selama hayat beliau mendakwahkan islam di Mekah dan Madinah. Kurikulum terebut adalah Kurikulum Berbasis Keteladanan.
Sebuah keniscayaan bahwa keteladanan adalah kunci utama mempersiapkan sebuah peradaban yang gemilang. Oleh karena itu, di sini seorang guru sangat diharapkan perannya dalam rangka mendidik/ mentarbiyah setiap insan di dunia guna mewujudkan sebuah peradaban yang di dalamnya tercipta sinergitas antara ilmu dan amal sehingga tidak ada lagi ‘Manusia Buta’ karena beramal tidak menggunakan ilmunya atau ‘Manusia Sia-sia’ karena berilmu tapi tidak mengamalkannya. Maka, guru yang dapat mengaplikasikan keteladanan dari Al Quran dan As Sunnah itulah Guru Profetik. Yakni guru yang sifatnya, sikapnya, amal perbuatannya semua berlandaskan atas kitab-Nya dan sunnah Nabiyyullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dialah Guru Profetik, Guru Peradaban. Sehingga pada akhirnya kita dapat mengucapkan (baca: melagukan)...
Terima kasihku Ku ucapkan,
Pada Guruku yang tulus.
Ilmu yang berguna selalu dilimpahkan
Untuk bekalku nanti...
Setiap hariku dibimbingnya,
Agar tumbuhlah bakatku.
Kan ku kenang selalu nasehat Guruku.
Terima kasihku,Ucapkan...
Akhirnya...
Sedikit mengulang pembahasan di awal terkait arti pendidikan, bagaimana pendidikan diartikan sebagai segala hal, tindakan/ perbuatan yang sadar dan terencana. Berati dalam hal ini, sebenarnya tidak ada batasan mengenai pendidikan karena jika kita melakukan segala hal secara sadar dan terencana, maka itulah pendidikan. Lalu apa korelasinya antara arti pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 dengan Al Quran dan seorang guru? Sejatinya, Al Quran telah membelajarkan kita akan arti pendidikan dan peran seorang guru. Jika kita setuju dengan pendapat di atas yang menyatakan bahwa pendidikan adalah segala aktivitas yang sadar dan terencana, maka Rasullah telah mendefinisikan arti tersebut secara maknawi lewat perilakunya. Segala hal yang dilakukan oleh Rasulullah pastinya sadar dan terencana karena apa yang dilakukan Rasulullah sebenarnya merupakan tuntunan langsung dari Alloh Ta‘ala yang tertuang dalam Al Quran.
Ada pun hubungannya dengan seorang guru yakni sebenarnya kembali pada diri sebagai pelaku pendidikan itu sendiri. Dengan kata lain, peran guru dalam pendidikan adalah sebagai motor penggerak sebuah keteladanan yang terkandung di dalam Al Quranul Karim sehingga jadilah ia berpredikat Guru Profetik, yakni guru yang selalu dapat memberikan keteladanan untuk diaplikasikan ke segala hal, tak lain dan tak bukan guna kemaslahatan orang banyak. Predikat guru seperti itu tidak akan pernah ada/ muncul apabila guru tersebut tidak menjadikan setiap aktivitas dirinya berlabel ibadah Lillahi Ta’ala. Jadi, kesimpulannya adalah setiap kita adalah seorang guru, tidak peduli apakah kita masih muda, atau sudah tua, apakah kaya atau miskin, apakah sekolah di jurusan keguruan atau bukan, kitalah sejatinya guru itu. Karena guru itu adalah manusia yang mengajarkan ilmu pada sesama kemudian mengamalkannya dalam setiap aktivitasnya. Ya! Kitalah guru itu, sang Guru Profetik yang dinanti kontribusinya untuk kemajuan bersama, kemajuan peradaban umat Islam yang dahulu sempat berjaya.

Lihat Al Quran Sejenak, Yuk?!

Power Rangers pun Menjadikan Al Quran
sebagai Dasar Membela Kebenaran di Muka Bumi

Go! Go! Power Rangers!
Go! Go! Power Rangers,
Mighty Morphin Power Rangers!
...
Senangnya mengenang salah satu pahlawan pembela kebenaran di muka bumi dengan kostum yang berwarna warni ini. Ada merah, biru, hitam atau hijau, kuning, dan merah muda (pink), lalu di belakang cerita tiba-tiba muncul pahlawan berwarna putih dengan kekuatan spesial. Bersama-sama mereka menumpas monster-monster yang bermunculan. Mulai dari monster semut, kecoa, tikus, harimau, bahkan monster yang dapat berubah menjadi besar (raksasa) yang akhirnya dapat dikalahkan dengan persenjataan super canggih serta robot yang mampu berubah bentuk dan bergabung. Yap! Taraaa... merekalah Power Rangers! Eh, jangan salah paham dulu ya? Penulis tidak akan bercerita panjang lebar tentang sejarah Power Rangers bumi yang markasnya hancur kemudian berganti markas pesawat ulang alik di luar angkasa, tetapi lebih pada konsep yang ditawarkan oleh pencipta sekuel Power Rangers itu sendiri. Sungguh konsep yang luar biasa. Bagaimana sang creator menciptakan pahlawan pembela kejahatan berkostum karakter binatang, kendaraan, dan kartu yang berjumlah kurang lebih lima dengan pemimpinnya si Rangers Merah.
Hubungan Rangers dengan Perintah dalam Al Quran
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat (orang) yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah kepada yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS ‘Ali ‘Imran[3]:104)
Jika boleh mengorelasikan antara ayat di atas dengan konsep gerakan yang dibangun oleh Power Rangers, maka cocok sekali, mereka -para Rangers- dapat dikatakan tengah menjalankan salah satu perintah Alloh yang terbaca di Quran surat ketiga ayat keseratus empat belas tadi yakni “hendaklah ada segolongan umat (orang) yang menyeru kepada kebajikan” sebagaimana tugas para Rangers yakni menumpas kejahatan dan berbuat kebajikan. Hal ini menjadi argumen yang kuat manakala melihat para Rangers yang lebih kurang berjumlah lima orang ini sepadan dengan ayat tersebut pada kalimat sebelumnya -hendaklah ada segolongan umat (orang)- yang dapat diartikan hanya ada beberapa orang saja atau intinya tidak banyak -kalau toh banyak, insyaAlloh dapat dihitung dengan jari.
Rangers juga mengenal konsep Al Qiyadah wal Jundiyah
Suatu hari Ranger Biru ngambek ingin jadi pemimpin. Dia merasa lebih hebat dari Ranger Merah yang terbiasa dan biasa menjadi pemimpin. Ranger Biru -sebut saja Fulan- adalah putra dari Ranger Merah terdahulu. Fulan yakin bahwa jabatan Ranger Merah akan jatuh di tangannya dan otomatis dia menjadi pemimpin. Namun, sudah kehendak sang pembuat skenario, tiba-tiba datang Agil yang ternyata menurut Atasan -biasanya setiap Power Rangers punya atasan entah manusia, peyihir, robot, atau mutan yang dijadikan koordinator pusat menjalankan organisasi kerangeran- lebih kompeten untuk memimpin pasukan Ranger. Fulan tidak terima. Pada hari itu juga bumi diserang oleh monster buaya. Agil seperti biasanya memimpin pasukan untuk mengalahkan monster tersebut. Akan tetapi, di awal, Ranger Biru sudah tidak rela dipimpin oleh Ranger Merah. Apa yang terjadi? Rangers pun kalah dan mundur sementara. Atasan memarahi Ranger Biru karena tidak mematuhi Ranger Merah. Singkat cerita, Ranger Biru akhirnya sadar akan kesalahannya dan mau dipimpin lagi oleh Ranger Merah. Sebagai pengikut atau yang dipimpin oleh Ranger Merah, Ranger Biru harus menyadari bahwa sebuah tim akan memperoleh menang dengan bekerja sama. Akan tetapi, kerja sama saja tidak cukup. Butuh ketaatan dan kepercayaan kepada pemimpin agar masing-masing jabatan bertindak sesuai fungsinya. Akhir cerita, monster buaya hancur lebur, Ranger Biru dan Ranger Merah kini menjalin persahabatan yang sangat akrab. Tiada jamaah tanpa pemimpin, tiada pemimpin tanpa ketaatan, dan tiada ketaatan tanpa kepercayaan.
Lalu?
Sudah seharusnya cerita, film, atau sekuel Power Rangers dijadikan ibrah bagaimana mereka -sang creator Power Rangers- yang notabenenya tidak menjadikan Al Quran sebagai aturan, pegangan hidup, serta kitab sucinya dapat secara tidak langsung menerapkan apa yang di dalam Al Quran untuk hal yang komersial dan berguna bagi perkembangan dunia entertainment mereka. Lalu bagaimana dengan kita yang mengaku bahwa Al Quran adalah kitab suci yang tiada keraguan di dalamnya? Apakah kita dapat mengambil ibrah, pelajaran, manfaat dari kitab kita sendiri?? Semua bermuara pada diri kita sendiri sebagai umat muslim, apakah akan menjadikan Al Quran sebagai penghias ruangan, meja belajar, dan rak buku? Atau menjadikannya penghias hati untuk selalu mengingat-Nya? Wallahu A’lam bish Showab.